Stephen Cavalier
(2011) dalam bukunya “The World History
of Animation” membagi sejarah animasi dunia ke dalam lima babak besar yang
tiap-tiap babak memiliki penandanya masing-masing yang ia sajikan secara
kronologis. Lima babak tersebut dimulai sebelum tahun 1900 hingga era digital. Penjelasan 5 babak tersebut dapat dibaca di tulisan sebelumnya yang berjudul "Lima Babak Animasi Dunia".
Jika ditelusuri lebih jauh, jejak animasi Indonesia
dapat ditelusi dari wayang dan relief pada candi-candi di nusantara. Wayang dan
relief yang ada di candi-candi di Indonesia adalah artefak atau jejak
perjalanan seni visual nusantara yang tak ternilai harganya. Beberapa kalangan
antara lain Dwi Koendoro dan Gotot Prakosa berpendapat bahwa wayang dan relief
adalah cikal bakal komik dan animasi Indonesia (Prakosa, 2008). Yang membedakan
wayang dan relief dengan animasi dalam konteks film adalah masalah dimensi
ruang-waktu (time base media). Maka dalam konteks lima babak animasi
dunia, wayang dan relief candi
yang telah mengakar lama dalam sejarah nusantara dapat dianggap sebagai era pre-film (era sebelum 1900), atau era
asal muasal animasi sebagai medium seni visual di Indonesia (The Origin of Indonesian Animation). Dalam konteks sejarah animasi
global temuan tersebut sejalan atau analog misalnya dengan temuan lukisan gua
purba, gambar mural di Mesir kuno, hingga gambar penghias mangkuk di China
Kuno.Namun sampai saat ini untuk alat-alat (device)
animasi pre-film yang lebih maju seperti Praxinoscope,
Zoetrope, Phenakistoscope, dan Kinetoscope apakah pernah ada di Indonesia masih harus dicari
jejak sejarahnya.
Animasi Indonesia dapat dilihat dari tiga
perspektif, yaitu animasi yang ada di Indonesia, animasi yang sepenuhnya dibuat
atau diproduksi oleh orang Indonesia, dan animasi luar yang dibuat atau
diproduksi di Indonesia (outsoursing). Tulisan ini berusaha memuat tiga sudut pandang tersebut. Dalam sudut pandang pertama,
meskipun belum bisa dinikmati secara luas, animasi telah dikenal di Indonesia
sejak tahun 1933 atau masa menjelang periode akhir era kolonial di Indonesia,
banyak koran lokal yang memuat iklan film animasi produksi Walt Disney. Dari
sudut pandang kedua, menurut Prakosa (2010) animasi dalam bentuk film mulai
diproduksi di Indonesia oleh orang Indonesia pada tahun 1955 melalui animasi
propaganda “Si Doel Memilih”. Sedangkan dari sudut pandang ketiga, beberapa
studio animasi luar negeri terutama dari Jepang sejak tahun 80an meng-outsource produksi animasi mereka di
Indonesia sebagai salah satu bentuk globalisasi budaya dan ekonomi. Dengan
demikian, secara umum sejarah animasi modern Indonesia dimulai pada tahun 1956,
yaitu ketika Presiden Soekarno yang terkenal sangat menghargai karya seni
melakukan kunjungan resmi ke Amerika Serikat menyempatkan berkunjung ke
Disneyland yang bertepatan dengan momen satu tahun berdirinya taman bermain
raksasa tersebut. Saat itu Soekarno tercatat sebagai presiden pertama yang
berkunjung ke Disneyland. Setelah pulang ke tanah air Soekarno mengirim seorang
seniman bernama Dukut Hendronoto (Pak Ook) untuk belajar animasi di studio
Disney. Setelah belajar selama 3 bulan, ia kembali ke Indonesia dan membuat
film animasi pertama berjudul “Si Doel Memilih”. Film animasi tersebut bercorak
propaganda dengan menggunakan teknik gambar dua dimensi pada sel transparan,
atau lembaran tembus pandang, hitam dan putih.Film animasi untuk propaganda
kampanye pemilihan umum di Indonesia itu menjadi tonggak dimulainya animasi
modern di Indonesia. Dengan demikian, dalam konteks animasi dunia,
animasi Indonesia dimulai di masa transisi era emas animasi tradisonal atau
animasi kartun (the golden age of
cartoon) tahun 1928 – 1957, ke era televise (television era) tahun 1958 - 1985. Dimana di Indonesia TVRI
(Televisi Republik Indonesia) mengawali siarannya pada tahun 1963. Namun sayang
sekali, animasi yang dianggap animasi Indonesia pertama tersebut tidak dapat
dilacak dokumentasinya, sehingga animasi pertama ini masih menjadi kontroversi
tentang kebenaran sejarahnya, sehingga perlu dilakukan riset lanjutan untuk
menelusuri jejak sejarahnya ke fihak-fihak terkait untuk membuktikan
kebenaranya.
Selanjutnya pada tahun 1963 Pak Ook hijrah ke TVRI
dan mengembangkan animasi di sana dalam salah satu program namun kemudian
program itu dilarang karena dianggap terlalu konsumtif. Di tahun tersebut TVRI
merupakan stasiun TV satu-satunya di Indonesia.Stasiun ini juga sudah memulai
menayangkan film-film yang dibuat oleh Walt Disney dan Hanna-Barbera, sekitar
tahun 1970. Pada masa yang sama, lahir juga kebijakan baru tentang penayangan
iklan di TVRI yang kemudian melahirkan program “Mana Suka Siaran Niaga”. Saat
itulah film animasi iklan nasional lahir, yang memberikan gambaran nyata
tentang keadaan industri film animasi yang tidak bisa lepas dari pertumbuhan
televisi.
Berdasarkan wawancara dengan Wagiono Sunarto (2014),
pada tahun 1972 muncul beberapa film animasi yang dibuat oleh Drs. Suyadi (di
kenal sebagai Pak Raden) di sebuah lembaga bernama Training Aid Center (TAC),
lembaga di bawah UNICEF yang berada di Jalan Surapati. Drs. Suyadi membuat satu
tim yang membuat beberapa film, salah satunya adalah Film Edukasi tentang
Keluarga Berencana yang dibuat bersama Prof. Dr. RM. Sularko, salah satu dokter
gigi yang menjadi ketua Federasi Perkumpulan Seni Foto Indonesia (FPSI). Pada
tahun 1972 juga berdiri studio animasi pertama di Jakarta bernama Anima Indah
yang didirikan oleh seorang warga Amerika bernama Lateef Keele.Anima Indah
termasuk yang mempelopori animasi di Indonesia karena menyekolahkan krunya di Inggris,
Jepang, Amerika dan lain-lain.Anima Indah berkembang dengan baik namun lebih
banyak berkembang di bidang periklanan. Di tahun 70-an banyak film yang
menggunakan kamera seluloid 8mm, maraknya penggunaan kamera untuk membuat film
tersebut, akhirnya menjadi penggagas adanya festival film. di festival film itu
juga ada beberapa film animasi seperti; Batu Setahun, Trondolo, Timun Mas yang
disutradarai Suryadi alias Pak Raden. Dengan demikian diawal era televisi
hingga akhir tahun 70an inilah animasi Indonesia mulai berkembang, terutama
untuk periklanan.Di tahun1973 juga muncul Festival Film Mini yang diprakarsai
oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Dari festival ini lahirlah Dwi Koendoro (Dwi
Koen) melalui animasi pendeknya yang berjudul “Batu”. Dengan demikian pada tahun 70an selain animasi iklan juga mulai
muncul animasi-animasi pendek yang lebih bersifat eksperimental (animasi
festival). Dalam konteks animasi dunia, tahun 60an hingga 70an, Disney
yang pada era sebelumnya tergolong produktif dalam memprodusi animasi layar
lebar, begitu di era televisi sudah mulai jarang memproduksi animasi layar
lebar lagi dan mulai masuk ke industri animasi televisi mengikuti sukses UPA (United Production of America), MGM (Metro Golden Mayers),
Hanna-Barbera, Fleischer Brothers, dsb yang telah terlebih dahulu sukses
memanfaatkan medium baru tersebut.
Era tahun 80-an ditandai sebagai tahun mulai
maraknya animasi Indonesia, antara lain melalui film animasi “Rimba Si Anak
Angkasa” yang disutradarai oleh Wagiono Sunarto dan dibuat atas kolaborasi
ulangan “Si Huma” yang diproduksi oleh PPFN dan merupakan animasi untuk serial
TV. Berdasarkan wawancara dengan Gotot Prakosa (2014) pada tahun 80an ini juga
muncul animasi-animasi eksperimental terutama animasi buatan mahasiswa IKJ
termasuk Gotot sendiri didalamnya.Animasi-animasi tersebut mampu menembus
festival animasi Internasional di beberapa Negara antara lain Jerman, Belanda,
Perancis, hingga Jepang.Animasi pendek tersebut telah berhasil mengangkat citra
animasi Indoensia di mata internasional, sesuatu yang sulit dilakukan oleh
animasi komersial saat itu. Baru pada tahun 2006, setelah melalui perjuangan
panjang di festival-festival dan forum-forum animasi internasional akhirnya
bisa mengantar animasi dan seniman animasi Indonesia untuk masuk manjadi
anggota ASIFA (Association Internationale
du Film d'Animation), sebuah forum organisasi animasi internasional tertua
yang yang berpusat di Perancis dan memiliki cabang (board) di banyak negara di dunia. Masuknya Indonesia ke anggota
ASIFA pada tahun 2006 juga menjadi penanda penting diakuinya Indonesia dalam
forum animasi internasional tertua tersebut. Selain itu, pada tahun
1980-1990-an juga lahir beberapa studio animasi seperti Asiana Wang Animation
yang bekerjasama dengan Wang Film Animation, Evergreen, Marsa Juwita Indah, Red
Rocket Animation Studio di Bandung, Bening Studio di Yogyakarta dan Tegal
Kartun di Tegal. Dalam konteks sejarah animasi dunia, pada tahun 80an di
beberapa negara khususnya Amerika telah mulai mengembangkan animasi digital
terutama yang dipelopori oleh kalangan peneliti dari Universitas-universitas
yang bekerjasama dengan antara lain ILM, dan Pixar Studio. Beberapa animasi pendek
dan visual effeck sederhana telah
muncul diera ini dan sebagian dipakai dalam beberapa film.Tron adalah salah
film yang satu pionir pada tahun 80an yang menggunakan visual effek animasi
dalam beberapa adegan filmnya.
Memasuki era tahun 90-an, sudah banyak bertaburan
berbagai film animasi meskipun tetap belum dikenal luas oleh publik tanah air,
diantaranya Legenda Buriswara, Nariswandi Piliang, Satria Nusantara yang kala
itu masih menggunakan kamera film seluloid 35 mm. Kemudian ada serial “Hela,
Heli, Helo” yang merupakan film animasi 3D pertama yang di buat di Surabaya.
Tahun 1998 mulai bermunculan film-film animasi yang berbasis cerita rakyat
seperti Bawang Merah dan Bawang Putih, Timun Mas dan petualangan si Kancil.Dan
pada era 90-an ini banyak terdapat animator lokal yang menggarap animasi
terkenal dari negara Jepang seperti Doraemon dan Pocket Monster.Pada tahun 90an
setelah lahirnya televisi swasta di Indonesia animasi Jepang mulai mendominasi
program animasi televisi dan mampu bersaing dengan animasi buatan Amerika. Pada
tahun 90an muncul beberapa film animasi layar lebar fenomenal produksi Disney
seperti Beauty and the Beast (1991), Alladin (1992), The Lion King (1994), Hingga animasi panjang 3Dkomputer pertama
produksi Pixar, Toy Story (1995). Menyusul
kemudian film animasi Disney yang lain seperti Hercules (1997), Mulan
(1998), hingga Tarzan (1999), Studio
Pixar di akhir 90an atau tepatnya tahun 1999 kembali merilis Toy Story 2.
Film-film tersebut mendapatkan respon luar biasa dari penonton di seluruh
dunia. Animasi telah menjadi produk global yang tidak kalah bersaing dengan
jenis film yang lain.
Selanjutnya pada milenum baru, dengan semakin
mudahnya akses teknologi digital, banyak sekali bermunculan studio-studio
animasi kecil dan komunitas animasi di Indonesia.Diantara sekian banyak studio
animasi yang terdapat di Indonesia, Red Rocket Animation termasuk yang paling
produktif. Pada tahun 2000 Red Rocket memproduksi beberapa serial animasi TV
seperti Dongeng Aku dan Kau, Klilip dan Puteri Rembulan, Mengapa Domba
Bertanduk dan Berbuntut Pendek, Si Kurus dan Si Macan. Pada masa ini serial
animasi cukup populer karena sudah menggabungkan 2D animasi dengan 3D animasi.
Mulai bangkit dan munculnya animasi komputer di Indonesia juga tidak lepas dari
lahirnya komunitas dan forum antara lain indoCG, Animator forum, komunitas
Blender, dsb sejak awal tahun 2000an. Pada masa ini juga muncul lembaga-lembaga
study komputer grafis dan animasi antara lain Digital Studio dan Hello Motion
yang ikut mensupport perkembangan animasi di Indonesia melalui pendidikan
animasi. Selain itu jurusan DKV dan informatika di beberapa perguruan tinggi
juga mulai membuka program atau peminatan animasi.Lalu pada tahun 2003, serial
3D animasi merambah ke layar lebar diantaranya “Janus Perajurit Terakhir”.
Janus adalah animasi hibrid yang mengkombinasikan antara live shot dengan
animasi. Film ini dari hasil wawancara dengan Syah Inderaprana (2014), seorang
tokoh/praktisi animasi digital, dianggap sebagai “milestone” penting dalam perkembangan animasi khususnya animasi
layar lebar Indonesia pertama. Setahun kemudian, tepatnya pada 7 Mei 2004,
hadir film 3D animasi berdurasi panjang (full
animation) buatan Indonesia sekitar 60 menit yaitu “Homeland” yang
ceritanya diolah Studio Kasatmata bersama Visi Anak Bangsa. Film ini berkisah
tentang petulangan seorang bocah bernama Bumi yang berusaha menemukan tempat
tinggalnya di dunia imajiner bernama Atlantis.Film ini digarap selama satu
tahun di bawah payung Studio Kasatmata di Jogjakarta.Walaupun film ini kurang
meraih sukses, dan dianggap sebagai “milestone” yang gagal terutama karena
masih minim secara kualitas, tapi menjadi babak baru bagi dunia peranimasian
Indonesia. Meskipun demikian, dalam konteks film 3D animasi panjang dunia,
film ini muncul hampir 9 tahun setelah film animasi 3D panjang pertama “Toy Story” yang rilis pada tahun 1995.
Sedangkan pada tahun 2004 disaat Homeland rilis, film-film animasi produksi
Pixar telah mampu menampilkan simulasi yang jauh lebih kompleks dari film
pertama mereka Toy Story, salah
satunya melalui film yang sangat fenomenal “Finding
Nemo” yang mampu mensimulasikan air dan gerakan ikan yang sangat realistic
(bahkan surealistik). Sebelumnya pada tahun 2001 juga muncul animasi CGI
fenomenal “Final Fantasy” produksi Square Pictures yang meskipun gagal
secara penjualan namun dianggap sebagai tonggak kedua animasi CGI setelah Toy
Story pada tahun 1995.
Selanjutnya, baru pada tahun 2008, Indonesia
berhasil membuat film animasi 3D pertama yang ditayangkan di layar lebar dan
juga sudah berhasil Go Internasional (didistribusikan ke berbagai negara mulai
dari Singapura, Korea, dan Rusia).Film animasi yang berjudul “Meraih Mimpi” tersebut
diproduksi Infinite Frameworks (IFW),
studio animasi yang berpusat di Batam. Film ini merupakan adapatasi dari buku
karya Minfung Ho berjudul Sing to The Dawn. Buku tersebut bercerita
tentang kakak beradik yang berusaha melindungi tempat tinggal mereka dari
kontraktor yang jahat.IFW membuat adapatasi buku Minfung Ho tersebut atas permintaan
pemerintah Singapura yang ingin buku wajib baca di beberapa SD di Singapura
tersebut dibuatkan filmnya. Begitu mendapat tawaran, IFW langsung memulai
pengerjaan film Sing to The Dawn. Sedangkan
di tahun yang sama (2008) animasi meraih mimpi harus bersaing dengan beberapa
film animasi layar lebar terutama produksi Amerika antara lain Kungfu Panda
produksi Dreamworks animation, Wall-E produksi Pixar, dan Bolt produksi
Studio Disney yang sangat popular pada saat itu. Terutama film animasi Wall-E
yang mendapat anugerah sebagai the best animated feature di ajang
academy award tahun 2008.Sedangkan pada tahun pada tahun sebelumnya Disney
Pixar juga merilis Ratatouille, animasi fenomenal yang juga mendapatkan Oscar tahun
2007 yaitu seabagai film animasi terbaik.
Sebagai penutup, jika
dilihat dalam konteks film (layar lebar) berdasarkan aspek produksi, animasi
adalah medium yang kompleks dan mahal. Maka wajar jika perkembangan animasi di
Indonesia dalam konteks global tergolong sangat lambat, meskipun persinggungan
dengan dunia film dan animasi telah berlangsung cukup lama di negeri ini.
Bahkan jika dilihat dari sejarah film sebagai medium animasi, perkembangan awal
film di Indonesia bisa dikatakan sama dengan awal perkembangan film dunia dan
telah berlangsung semenjak era kolonial Belanda awal abad 20. Perkembangan film
animasi Indonesia sempat menemukan momentumnya di awal era televisi, namun
meredup kembali di tahun 80an hingga 90an, dimana pada saat itu animasi di
Indonesia banyak didominasi oleh animasi luar terutama Jepang dan
Amerika.Perkembangan animasi Indonesia selanjutnya menemukan momentumnya lagi
di era digital meskipun terlambat hampir 10 tahun lamanya jika dilihat dalam
konteks perkembangan animasi dunia (global), baik secara bentuk maupun
teknologi.Namun yang menarik namun luput dari penulisan sejarah film maupun
animasi Indonesia adalah munculnya animasi ekperimental (Avanguard animation)
pada tahun 80an yang mampu bersaing di festival-festival animasi internasional.
Masuknya indonesia ke anggota ASIFA pada tahun 2006 juga menjadi penanda
penting diakuinya Indonesia dalam forum animasi internasional tertua tersebut.
Reference
Cavalier, Stephen (2011), The World History of Animation, University
of California Press, California.
Prakosa, Gatot (2010), Animasi: Pengetahuan Dasar Film Animasi
Indonesia, Yayasan Visual Indonesia (Nalar), Jakarta.
Prakosa, Gatot (2004), Film Animasi Indonesia pada Masa Reformasi,
Fakulstas Sastra UGM, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar