Pada
tahun 1994 terbit sebuah buku karya Giannalberto Bendazzi berjudul; “Cartoons: One Hundred Years of Cinema
Animation”. Dalam sejarah animasi, Giannalberto Bendazzi adalah penulis
sejarah animasi yang pertama kali menulis buku tentang sejarah animasi, buku
karangannya dianggap sebagai buku sejarah animasi pertama yang paling lengkap
dan komprehensif, (Pikkov, 2008). Karena peran Bendazzy dalam penulisan sejarah
animasi, Bendazzi oleh Timo Linsenmaier, peneliti dan sejarawan animasi asal
Rusia, disebut sebagai Vassari-nya animasi (Linsenmaier, 2008). Buku yang
berisi sejarah animasi yang lain adalah buku karangan Stephen Cavalier yang
terbit tahun 2011 berjudul; “The World
History of Animation”. Buku tersebut memuat sejarah lengkap animasi dunia
yang lebih mirip sebagai katalog animasi dunia dari masa pre-film hingga
digital. Sedangkan di Indonesia belum pernah terbit buku khusus yang membahas
tentang sejarah animasi Indonesia secara lengkap dan utuh. Sedangkan buku yang
membahas tentang sejarah film telah beberapa kali ditulis dan menjadi kajian
para sejarawan yang antara lain ditulis oleh Misbach Yusa Biran hingga Salim
Said. Satu-satunya tulisan yang berisi hasil riset sejarah animasi adalah tesis
yang dibuat oleh Gotot Prakosa pada tahun 2004 berjudul: “Animasi Indonesia
pada Masa Reformasi”. Buku tersebut lebih banyak mengupas sejarah animasi
Indonesia era reformasi, dimana era tersebut dalam sejarah animasi dunia adalah
era digital (Prakosa, 2004).
Menurut
Bendazzi (1994), film animasi telah berkembang pesat meskipun baru satu abad
usianya. Dimana awal sejarahnya sama dengan lahirnya sinema pada tahun 1895
oleh Lumiere Brothers di Perancis. Dilanjutkan dengan munculnya “trick film”
oleh Georges Mellies pada tahun 1896 setelah melihat pertunjukan
“sinematografi” Lumiere tahun 1895. Pada saat itu animasi telah hadir sebagai
“trik” namun kehadirannya belum disadari sebagai sebuah film animasi
sebagaimana yang dikenal saat ini. Baru empat tahun kemudian, yaitu pada tahun
1899 muncul film animasi pendek (full animation) dengan teknik stop motion
pertama di dunia yang dibuat oleh Arthur Melbourne-Cooper yang berjudul “Matches: An Apeal”, yang dilanjutkan
dengan animasi berbasis gambar (hand
drawn animation) pertama yang dibuat oleh seorang kartunis Amerika James
Struat Blacton yang berjudul “Humorous
Phases of Funny Faces” pada tahun 1906.
Sedangkan film animasi panjang (feature)
pertama yang tercatat dalam sejarah adalah animasi siluet “Adventures of Prince Achmed” yang diproduksi oleh Lotte Reiniger dari Jerman pada tahun 1926. Animasi kemudian dikenal
diseluruh dunia dan menjadi industri besar yang menandai era emas animasi
kartun tradisional (golden age of cartoon
animation), era ini terutama lahir setelah ditemukan cara untuk
mensinkronisasi gambar dan suara sehingga film tidak lagi bisu (silent movie). Penandanya adalah
melalui animasi bersuara pertama yang dibuat oleh Walt Disney berjudul Steamboat Willie (rilis 1928) yang mempolulerkan
karakter bernama Mickey Mouse. Tetapi
momentum besar era ini diawali terutama berkat ketekunan dan kerja keras Walt
Disney dan timnya untuk mevujudkan visi besar Disney bahwa animasi dapat
menjadi medium visual yang dapat melampui apa yang bisa dicapai oleh film pada
masa itu. Visi itu mewujud pada diproduksinya film animasi panjang berwarna (full length colour feature animation)
pertama di dunia pada tahun 1937 yang berjudul “Snow White and Seven Dwarft”. Film tersebut berhasil
“menglobalkan” nama Walt Disney dan animasi, sehingga Disney dan animasi
dikenal di penjuru dunia dan menempatkan animasi sebagai industri yang penting
bersama dengan film (live shoot).
Animasi yang berawal dari trik sulap dan “divice”
yang sederhana di penghujung abad 19, teknik, visual, cerita, media, dan
teknologi yang sederhana tersebut selanjutnya dengan cepat berkembang menjadi
bentuk yang lebih kompleks di era Disney dan sesudahnya. Bentuk dan
kompleksitas animasi terus bertambah terutama setelah ditemukanya televisi
sebagai media elektronik baru pada tahun 50an yang menandai era baru dalam
animasi yang disebut dengan “era animasi televisi” (television
era). Media baru ini menjadi medium bagi animasi terutama animasi serial
yang mencapai puncak kejayaannya pada tahun 70an hingga 80an. Momentum besar
dalam sejarah animasi berikutnya adalah setelah ditemukanya teknologi digital
yang lebih maju pada tahun 80an. Era ini dikenal dengan era digital animation.
Digitalisasi animasi berdampak besar pada keseluruhan aspek dalam proses
produksi hingga dampak visual yang dirasakan oleh penonton yang sangat berbeda
dengan dua era sebelumnya. Animasi 3D pada era ini, yang dimotori oleh Pixar
Studio telah berhasil menggeser dominasi animasi 2D tradisional. Setelah itu
laju animasi digital dan visual effect
sudah tak terbendung hingga kini.
Menurut Halas & Manvell dalam Omar
dan Ishak (2011), sifat alami animasi mirip dengan konten televisi dan film
lainnya, mereka membawa tema dan gaya yang sebagian besar berasal dari fantasi
dan cerita rakyat serta trend artistik pada era waktu ketika masing-masing
animasi tersebut diciptakan. Masih menurut Halas & Manvell alur perjalanan
film animasi dapat diamati melalui empat tahap utama, yaitu:
1.
Periode awal trik-kerja dan
sihir.
2.
Masa pembentukan kartun
sebagai produk sampingan untuk hiburan komersial
(1920).
(1920).
3.
Masa percobaan teknis dan
pengembangan animasi dalam
bentuk animasi panjang untuk hiburan (1930 dan 1940).
bentuk animasi panjang untuk hiburan (1930 dan 1940).
4.
Periode kontemporer di mana
orang melihat banyak ekspansi film animasi ke dalam setiap jenis kemungkinan
mulai dari iklan televisi
maupun untuk film instruksional yang sangat khusus.
maupun untuk film instruksional yang sangat khusus.
Namun
yang harus disadari dalam mengkaji sejarah, khususnya sejarah
animasi berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Sejarawan animasi dari Rusia, Linsenmaier
(2008); “There is a qualitative
difference between animation films made in the past, by living people, for
their own purposes, and interpretations advanced about those films by scholars
living at a later date”. Argumentasi Linsenmaier terutama untuk masalah
interpretasi sejarah yang bisa sangat berbeda karena perkembangan pemikiran
(terutama setelah postmodernisme) terkait sumber primer dan sumber sekunder
dalam riset sejarah yang harus memperhatikan “konteks” dimana peristiwa sejarah
tersebut berlangsung. Contoh yang cukup jelas untuk mengkonfirmasi pernyataan
Linsenmaiier tersebut adalah definisi animasi menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), yang mendefinisikan animasi sebagai “Acara televisi yang berbentuk rangkaian lukisan atau gambar yg
digerakkan secara mekanik elektronis sehingga tampak di layar menjadi bergerak”
(http://kbbi.web.id/animasi). Pengertian tersebut mengkonfirmasi makna animasi yang berkembang
di Indonesia di era televisi sejak tahun 70an, dimana pada saat itu tayangan
animasi sangat marak dan banyak menghiasi acara-acara televisi terutama animasi
buatan Amerika dan Jepang. Pengertian tersebut sangat berbeda dengan pengertian
animasi dalam kamus Oxford yang mendefiniskan animasi dalam dua pengertian yang
lebih komprehensif dan mendasar daripada definisi animasi versi KBBI. Definini
animasi menurut kamus Oxford adalah: (1)
The state of being full of life or vigour; liveliness. (2) The technique of
photographing successive drawing or positions of puppet or models to create an
illusion of movement when the film is shown as a sequence; a combination of
live action with 3D animation (http://www.oxforddictionaries.com.). Tulisan yang lebih
lengkap mengenai definisi animasi bisa dibaca di artikel “definini Animasi”.
(AK)
Referensi
Bendazzi, Giannalberto (1994). Cartoons:
One Hundred Years of Cinema Animation. London: John Libbey.
Pikkov, Ulo. (2010), Animashopy;
Theoretical Writings on the Animated Film, Estonian Academy of Arts,
Estonia.
Prakosa, Gatot (2004), Film Animasi
Indonesia pada Masa Reformasi, Fakultas Sastra UGM, Yogyakarta.
Linsenmaier, Timo (2008), Why
animation historiography?, Journal of Animation Studies Vol 3, California
Institute of the Arts.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar